Entah kenapa minggu ini saya jadi ketagihan nonton film-film yang berbau Afrika. Setelah di awal pekan ini saya menonton The Boy Who Harnessed the Wind (2019), pada saat mengetik ini saya baru saja selesai menonton film bersetting Afrika lainnya. Film ini berjudul Beasts of No Nation yang dirilis pada tahun 2015 silam. Genre dari film ini adalah drama-perang dengan mengambil tema perang saudara yang terjadi di sebuah negara di Afrika yang tak disebutkan nama negaranya.
Jika biasanya menonton film bergenre perang itu menimbulkan efek keseruan, memacu adrenalin, kehebohan, namun tidak dengan film ini. Setelah saya menonton film ini perasaan yang timbul dalam diri saya adalah perasaan lelah, jijik, muak, trauma, benci, emosi, hopeless (pokoknya hal-hal yang negatif deh). Banyak sekali adegan-adegan yang membuat kita semakin percaya bahwa perang-apalagi perang saudara sebangsa- hanya menimbulkan kesengsaraan bagi setiap orang. Perang juga bisa membuat orang hilang akal sehat, jauh dari ajaran agama yang menuntun pada kebaikan.
Bagi kamu yang belum menonton sinopsisnya berikut saya gambarkan ya. Film ini mengisahkan seorang anak kecil bernama Agu yang kehilangan semua anggota keluarganya, Bapak dan Kakanya dibunuh oleh pasukan pemerintah karena dianggap bagian dari pemberontak, Ibu dan adik kecilnya berhasil mengungsi namun entah kemana. Agu yang mungkin hanya berumur sepuluh tahun harus ikut berperang bersama komplotan pemberontak yang dipimpin oleh seseorang yang disebut Komandan.
Pasukan pemberontak yang berisi anak-anak muda dan banyak anak dibawah umur bermaksud mengalahkan pasukan pemerintah. Para pemberontak ini sangat kejam dalam beraksi, mereka menganggap semua orang musuh, termasuk penduduk sipil yang tidak berdosa.
Yang menjadi sorotan di film ini adalah banyaknya adegan - adegan yang jauh dari rasa kemanusiaan, seperti orang ditembak dan dibunuh di jalan tanpa sebab, menjarah, dan salah satu yang paling horor dan kejam adalah adegan ketika Komandan menyuruh Agu untuk menebas kepala seorang tawanan dengan sebilah golok. (Saya tidak berani nonton adegan ini).
Diujung film diceritakan bagaimana akhir dari perjuangan para pemberontak, termasuk kisah si Agu bersama tentara-tentara cilik lainya. Bisakah Agu lepas dari genggaman perang? Kalian harus lihat sendiri.
Walaupun film ini sangat bagus, saya mungkin tidak berencana menonton untuk kedua atau ketiga kalinya. Cukup sekali saya melihat tentara-tentara dibawah umur dipaksa harus berperang dan melakukan hal-hal yang diluar nalar.